KabarIndonesia - Libya terseret ke dalam jurang perang saudara. Pertempuran antara serdadu pemerintah dan pemberontak sejauh ini telah menelan puluhan korban jiwa. Pemerintah Libya berusaha merebut kembali kota-kota yang dikuasai oposisi.
Pertempuran yang berkecamuk di berbagai kota di Libya, menurut laporan media, telah memakan banyak korban jiwa dan luka-luka. Di Al-Sawiya, sebelah barat Tripoli, stasiun televisi al-Arabiya melaporkan sedikitnya 13 orang meninggal dunia.
Menurut stasiun al-Jazeera jumlah korban jiwa bahkan telah mencapai 50 orang dengan lebih dari 300 orang mengalami luka-luka. Pertempuran antara oposisi dengan serdadu pemerintah juga terjadi di Masrata, 200 kilometer di timur Tripoli. Kedua kota tersebut dilaporkan masih berada di tangan kelompok pemberontak.
Militer juga berusaha merembut kembali al-Brega, pelabuhan minyak terbesar di timur Libya. Pesawat-pesawat tempur pemerintah hari Jumat siang membombardir sejumlah tempat strategis yang diduga dikuasai oleh milisi pemberontak. Sedikitnya 18 orang menurut laporan kantor berita Jerman, DPA, kehilangan nyawanya dalam serangan tersebut. Kendati begitu, saksi mata melaporkan, kelompok oposisi hingga kini belum beranjak dari al-Brega.
Upaya Khaddafi Merebut Kembali Pelabuhan Minyak
Berbagai media melaporkan, milisi pemberontak saat ini telah bergerak ke arah barat, menuju kota pelabuhan Ras Lanuf yang disinyalir masih berada di bawah kekuasaan serdadu pemerintah. Di kota itu kedua kekuatan terlibat pertempuran hebat.
Dilaporkan empat orang pemberontak tewas terbunuh oleh ledakan roket. Ras Lanuf dan al-Brega merupakan dua kota pelabuhan terpenting bagi ekspor minyak Libya. Siapapun yang menguasai kedua tempat tersebut, berarti ikut menentukan pasokan minyak untuk dunia internasional.
Al-Jazeera hari Jumat kemarin juga melaporkan sekitar 130 wartawan internasional dilarang meliput aksi demonstrasi di ibukota Tripoli. Aparat keamanan mengancam, wartawan asing yang meninggalkan hotel tempatnya menginap tanpa izin resmi akan dijebloskan ke penjara.
Dengan cara itu Muammar Gaddafi diduga ingin mencegah rekaman video mengenai tindak represif aparat keamanan terhadap para demonstran, dipublikasikan ke dunia internasional.
Merdeka atau Mati
Dalam wawancaranya dengan al-Jazeera, putra Gaddafi, Saif al-Islam menilai adanya upaya konspirasi terhadap negaranya. „Kami tahu ada kampanye media melawan Libya. Pemerintahan ini akan bertahan, saya tahu, orang lain ingin memecah dan menghancurkan negara ini. Barat ingin mengontrol dana kami, tapi kami adalah negara yang sangat kaya dengan jumlah penduduk yang sedikit. Itu tidak akan terjadi, karena rakyat Libya bersatu. Kalian akan terkejut." Namun bentrokan kembali terjadi antara pendukung Gaddafi dengan para demonstran, di antaranya di lapangan hijau dan di dua kawasan lain di ibukota Tripoli. Kedua kelompok terlibat saling pukul secara brutal. Milisi yang setia terhadap Gaddafi menembak ke udara untuk membuat massa panik.
Sementara di tempat lain para demonstran dikepung oleh tank-tank dan kendaraan lapis baja. Berbagai kantor berita internasional melaporkan aparat keamanan juga menggunakan gas air mata terhadap para demonstran.
Ketua Dewan Nasional di Bengazi, Mustada Abdul Djalil yang juga merupakan bekas Menteri Kehakiman Libya dan kemudian membelot ke pihak oposisi mennyerukan kepada para demonstran di al-Baida. "Merdeka atau mati, kita tidak akan berhenti sampai berhasil membebaskan negeri ini!" (*)
Pertempuran yang berkecamuk di berbagai kota di Libya, menurut laporan media, telah memakan banyak korban jiwa dan luka-luka. Di Al-Sawiya, sebelah barat Tripoli, stasiun televisi al-Arabiya melaporkan sedikitnya 13 orang meninggal dunia.
Menurut stasiun al-Jazeera jumlah korban jiwa bahkan telah mencapai 50 orang dengan lebih dari 300 orang mengalami luka-luka. Pertempuran antara oposisi dengan serdadu pemerintah juga terjadi di Masrata, 200 kilometer di timur Tripoli. Kedua kota tersebut dilaporkan masih berada di tangan kelompok pemberontak.
Militer juga berusaha merembut kembali al-Brega, pelabuhan minyak terbesar di timur Libya. Pesawat-pesawat tempur pemerintah hari Jumat siang membombardir sejumlah tempat strategis yang diduga dikuasai oleh milisi pemberontak. Sedikitnya 18 orang menurut laporan kantor berita Jerman, DPA, kehilangan nyawanya dalam serangan tersebut. Kendati begitu, saksi mata melaporkan, kelompok oposisi hingga kini belum beranjak dari al-Brega.
Upaya Khaddafi Merebut Kembali Pelabuhan Minyak
Berbagai media melaporkan, milisi pemberontak saat ini telah bergerak ke arah barat, menuju kota pelabuhan Ras Lanuf yang disinyalir masih berada di bawah kekuasaan serdadu pemerintah. Di kota itu kedua kekuatan terlibat pertempuran hebat.
Dilaporkan empat orang pemberontak tewas terbunuh oleh ledakan roket. Ras Lanuf dan al-Brega merupakan dua kota pelabuhan terpenting bagi ekspor minyak Libya. Siapapun yang menguasai kedua tempat tersebut, berarti ikut menentukan pasokan minyak untuk dunia internasional.
Al-Jazeera hari Jumat kemarin juga melaporkan sekitar 130 wartawan internasional dilarang meliput aksi demonstrasi di ibukota Tripoli. Aparat keamanan mengancam, wartawan asing yang meninggalkan hotel tempatnya menginap tanpa izin resmi akan dijebloskan ke penjara.
Dengan cara itu Muammar Gaddafi diduga ingin mencegah rekaman video mengenai tindak represif aparat keamanan terhadap para demonstran, dipublikasikan ke dunia internasional.
Merdeka atau Mati
Dalam wawancaranya dengan al-Jazeera, putra Gaddafi, Saif al-Islam menilai adanya upaya konspirasi terhadap negaranya. „Kami tahu ada kampanye media melawan Libya. Pemerintahan ini akan bertahan, saya tahu, orang lain ingin memecah dan menghancurkan negara ini. Barat ingin mengontrol dana kami, tapi kami adalah negara yang sangat kaya dengan jumlah penduduk yang sedikit. Itu tidak akan terjadi, karena rakyat Libya bersatu. Kalian akan terkejut." Namun bentrokan kembali terjadi antara pendukung Gaddafi dengan para demonstran, di antaranya di lapangan hijau dan di dua kawasan lain di ibukota Tripoli. Kedua kelompok terlibat saling pukul secara brutal. Milisi yang setia terhadap Gaddafi menembak ke udara untuk membuat massa panik.
Sementara di tempat lain para demonstran dikepung oleh tank-tank dan kendaraan lapis baja. Berbagai kantor berita internasional melaporkan aparat keamanan juga menggunakan gas air mata terhadap para demonstran.
Ketua Dewan Nasional di Bengazi, Mustada Abdul Djalil yang juga merupakan bekas Menteri Kehakiman Libya dan kemudian membelot ke pihak oposisi mennyerukan kepada para demonstran di al-Baida. "Merdeka atau mati, kita tidak akan berhenti sampai berhasil membebaskan negeri ini!" (*)
Sumber berita : Peter Steffe/Rizki Nugraha
http://www.dw-world.de/dw/article/0,,14890899,00.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar