Kesibukan kerja dan perubahan etika pergaulan, kini nyaris membuat komunikasi dalam keluarga menjadi barang mahal dan langka. Bagaimana mengatasinya agar keluarga tetap sakinah?
Rahma (12 tahun) terlihat murung siang itu. Sementara teman-teman sekelasnya terlihat ceria menenteng raport hasil ujian tengah semester masing-masing. Walau berhasil menjadi juara ketiga di kelas, raut kecewa Farhah tak mampu ia sembunyikan. Bapak dan ibunya tak akan datang siang itu menemaninya tersenyum mengongsong piala juara kelas.
Sang ayah, Mukhlis (37 tahun), tak mungkin datang karena sulit meninggalkan pekerjaannya di kantor. Sementara Sukma, ibunya pagi tadi mendadak tak bisa menemani Rahma ke sekolah mengambil raport, karena harus menghadiri arisan keluarga.
Sempitnya waktu bersama keluarga, dan padatnya jadwal kehidupan orangtua, kini sudah lumrah membuat hubungan orangtua-anak kian berjarak dan semu. Setiap orang dalam keluarga, seolah membangun dunia sendiri. Akibatnya, pemahaman terhadap perasaan, pikiran, kebutuhan dan apa yang dirindukan sesama anggota keluarga pun sulit terpenuhi. Hasilnya, akan kian jauh tercipta keluarga sakinah.
Membentuk atau membina keluarga sakinah bukan hal mudah. Karena dasar untuk mewujudkannya butuh tanggungjawab masing-masing individu keluarga. “Person orangtua harus sakinah, jika ingin membentuk keluarga sakinah. Andai suami-istri sakinah, anak akan ikut. Karena anak adalah duplikat orangtua,” tutur Ustadzah Hj Lutfiah Sungkar.
Agar sakinah, menurut Luthfiah, komunikasi yang baik, lancar dan saling terbuka dalam keluarga sangat penting untuk dibangun dan dijaga. Terlebih, anak-anak sangat peka untuk merasakan betapa pentingnya memiliki orangtua yang utuh dan saling berhubungan baik.
Hal senada juga diungkap KH Drs Sofyan Rosada, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Husaini al-Bautani. Ia menilai, komunikasi akan lahir dari seseorang yang sadar bahwa komunikasi merupakan sesuatu yang rûhiyyah. “Hidup ini terjadi karena komunikasi, dan dunia adalah komunikasi,” tegasnya.
Jalinan komunikasi antara orangtua dan anak, juga harus didasari rasa cinta, tanpa kekerasan, diungkapkan terbuka, dan diikuti pendekatan-pendekatan fisik maupun psikologis yang positif. “Contohnya, walau anak saya di pesantren, tapi kami berusaha menjalin komunikasi yang baik. Agar anak saya tidak merasa disisihkan dari keluarga, saya kerap berkomunikasi dengannya via telepon. Atau saya bertanya kepada para ustadz mengenai perkembangan anak saya,” aku Sofyan.
Kualitas Komunikasi
Berkomunikasi bukan hanya berbicara. Tapi butuh pula keberadaan fisik dan kemampuan membuat komunikasi yang dilakukan berkuatias.
Dr Matti Gershenfeld, psikolog dari Philadelhia Temple University, memberi rumusan empat faktor yang perlu diperhatikan orangtua untuk meningkatkan kualitas komunikasi dengan anak. Yaitu: secara fisik berdekatan dengan anak, adanya kontak mata, belaian fisik, dan komunikasi lisan.
Menurut Gershenfeld, jika orangtua dapat terbiasa mengejawantahkan keempat faktor tersebut dalam keseharian, maka anak akan lebih mudah menangkap dan merasakan kasih sayang orangtuanya.
Karena, kasih sayang sangat perlu sengaja ditunjukkan kepada anak, hingga anak dapat benar-benar merasa disayangi. Jika tercapai, kontak batin orangtua-anak pun mudah terjalin.
Dengan bertambahnya usia anak, komunikasi lisan juga kian butuh ditingkatkan. Orangtua harus peka mendengar pendapat dan keluhan anak, memahami perasaan mereka, dan melakukan tukar pikiran. Dari sini, anak yang sedang dalam masa berkembang pun akan merasakan diperhatikan.
Orangtua juga harus dapat menyediakan waktu khusus untuk anak. Walau hanya untuk sekedar berdiskusi, menjemput atau datang mengambilkan raport di sekolah. Ini untuk menunjukkan kepada anak bahwa orangtuanya memang menyediakan waktu khusus bagi mereka, dan bukan memberi mereka sisa waktu saja.
Psikolog Heman Elia M.Psi menambahkan, menyediakan waktu khusus untuk anak, berpengaruh cukup signifikan bagi anak. Disamping menunjukkan kehadiran orangtua dalam kehidupan si anak, juga akan menjadi pemberian yang sangat berarti dari orangtua kepada anaknya.
Komunikasi dapat dilakukan tidak hanya dengan ucapan, tetapi juga dengan sikap. “Orangtua adalah panutan bagi anak-anak mereka, maka orangtua harus memberi contoh yang baik dengan menjadi sahabat sekaligus teman diskusi mereka,” tandas Elia.
Boks
Komunikasi ala Rasulullah
Keluarga yang sakinah adalah keluarga yang mempunyai nilai dan aturan. Rasulullah SAW telah mengajarkan nilai dasar akhlak islami dalam membangun hubungan harmonis dalam keluarga. Yaitu menjaga jalinan komunikasi yang baik antarsesama anggota keluarga.
Modal utama sukses Rasulullah membina hubungan dengan manusia dan lingkungannya adalah hati beliau yang selalu diliputi belas dan kasih sayang. Terutama kepada sesama mukmin.
Beliau mudah menyatakan simpati, dan selalu mengharap kebaikan bagi orang lain. Selain itu, beliau sangat berempati, mampu menyelami perasaan dan turut merasakan kesedihan maupun kesusahan orang lain. Beliau juga melengkapinya dengan ketrampilan berkomunikasi.
Agar bisa menjalin komunikasi yang baik, Rasulullah selalu berupaya memahami dan menyesuaikan diri dengan kondisi psikologis lawan bicaranya (komunikan). Sebagai pembicara (komunikator), beliau selalu memperhatikan siapa dan bagaimana lawan bicaranya.
“Anzilun-nâsa manâzilahum” (Tempatkanlah manusia sesuai dengan tempat semestinya/proporsional). Begitu sabdanya. Beliau juga mengingatkan agar pembicara menghormati orang yang lebih tua, dan menyayangi yang lebih muda.
Selain itu, faktor psikologi dan posisi lawan bicara, atau aspek intelektualistas dan adat istiadatnya harus diperhatikan. Sabda beliau, “Khâtibun-nâsa ‘ala qadri ‘uqûlihim” (Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar intelektualitasnya). Seperti beda tata wicara kita kepada anak kecil dan orang dewasa, karena beda kemampuan dan daya serap otak masing-masing. Begitu pula terhadap orang berpendidikan dan tidak.
Untuk menyesuaikan dengan kultur, budaya dan adapt istiadat, Rasulullah berpesan, “Khâtibun-nâsa bilughati qaumihim” (Berbicaralah kepada manusia dengan bahasa kaumnya). Artinya kita perlu menyesuaikan cara berbicara dan berinteraksi dengan kultur, adat istiadat yang dimiliki seseorang atau suatu kaum. Tentunya sepanjang tidak melanggar syari’at.
Rasulullah juga meneladankan kemampuan paripurnanya dalam melakukan komunikasi efektif. Ciri-ciri komunikasi efektif adalah bila terjalin pemahaman dan saling pengertian antara komunikator dan komunikan. Kemudian tercipta suasana menyenangkan di antara kedua belah pihak. Yang berbicara maupun yang diajak bicara sama-sama senang. Hasilnya, hubungan akan semakin baik dan harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar