Jakarta - Sejak berdiri hingga kini, Ponpes Al Zaytun terus menuai kontroversi. Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada 2002 melakukan penyelidikan kaitan Al Zaytun dan NII. Hasilnya, ada kecurigaan entitas NII di dalam Al Zaytun. Pemimpin Al Zaytun Panji Gumilang pun disimpulkan merupakan pemimpin NII KW 9.
MUI sudah melapor ke Mabes Polri. Hanya saja belum ditindaklanjuti. Dalam penelitian itu MUI memang tidak menemukan adanya penerapan sistem pendidikan yang bermasalah. Yang diteliti terhadap Al Zaytun adalah soal pemahaman dan ditemukan adanya penyimpangan dari pemahaman Islam.
"Temuan MUI mengenai entitas NII memunculkan kegelisahan," kata Ketua MUI Amidhan.
Terlebih salah satu materi pelajarannya cenderung kepada radikalisme. Setiap orang yang bukan bagian NII digolongkan sebagai umat yang kafir dan maka dari itu harta benda mereka sah untuk dikumpulkan bagi kepentingan NII.
Mengenai dugaan keterkaitan Al Zaytun dan NII sempat terungkap dalam penangkapan 17 anggota NII di Bandung, Jawa Barat. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, dari berkas perkara tiga petinggi NII disebutkan telah mengambil infak dan sodakoh senilai Rp 6 juta per bulan dari anggotanya.
Infak dan sodakoh ini disetorkan secara berjenjang ke rekening BRI 0870.01.006.776.537 cabang Al Zaytun di Indramayu atas nama Mohammad Sobari alias Abu Patin selaku Gubernur NII wilayah Jawa Barat bagian selatan.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) M Amin Djamaluddin memiliki bukti berupa buku tentang setora iuran anggota NII, termasuk kwitansi tentang setoran emas seberat 1 gram per orang per anggota setiap tahun.
Amin yang pernah menulis buku 'Peyimpangan dan Kesesatan Ma’had Al Zaytun' itu menyatakan, ada kesesatan tauhid di Ponpes Al Zaytun. Di samping itu ada penyimpangan dalam praktek ibadah.
Kesesatan aqidah di Al Zaytun, menurut Amin, adalah menganggap Indonesia sama dengan Makkah sebelum Nabi Muhammad hijrah. Indonesia dianggap golongan jahiliyah yang diibaratkan sebagai tong sampah.
"Mereka menggangap Indonesia tong sampah yang isinya kotor. Jadi tidak usah salat. Karena kalau saat mencampurkan antara yang hak dan batil, maka tidak sah," jelas Amin yang pernah bergaul 30 tahun dengan sejumlah pentolan NII dari tahun 1970 itu.
Paham NII KW 9 ini bertentangan dengan hadis tentang keistimewaan Islam yang menjadi bumi ini sebagai tempat bersujud kepada Allah SWT. Berdasarkan hadist tersebut, Indonesia yang merupakan bagian di belahan dunia ini juga sah menjadi tempat bersujud atau sholat.
Di samping itu, NII termasuk Al Zaytun berpaham bahwa ibadah itu untuk melaksanakan hukum Islam di negara NII. Artinya Indonesia tidak memakai hukum Islam, sehingga warganya dianggap kafir, makanya semua amal ibadahnya seperti salat, puasa dan zakat amalannya terhapuskan. Lalu NII pun menukilkan sejumlah ayat Alquran dari sejumlah surat yang berisi tentang hijrah ke Madinah. Madinah yang mereka maksud adalah NII dengan kotanya Al Zaytun.
"Kita sebenarnya sudah melaporkan ini juga ke Kemenag dan Mabes Polri pada tahun 2006 lalu. Apalagi dalam ajaran mereka menghalalkan praktek pencarian dana melalui mencopet, merampok dan menodong," kata Amin yang pernah sama ikut mengaji dengan tokoh NII seperti Adah Jaelani, Aceng Karim dan M Hasan serta salah satu anaknya tokoh DI/TII Kartosuwiryo itu.
Amin sendiri bergabung dengan LPPI setelah menyatakan keluar dari pengajian tokoh NII itu pada tahun 1978.
Sejumlah korban NII KW 9 memberi kesaksian mereka diwajibkan berhijrah bila bergabung dengan gerakan yang identik cuci otak tersebut. Para korban menyatakan NII KW 9 memiliki struktur layaknya pemerintahan, memiliki pejabat dari tingkat lurah hingga presiden. Mereka juga memiliki aturannya sendiri termasuk memiliki KTP dan paspor yang berbeda dengan pemerintah RI.
Anggota Ponpes Al Zaytun memang memiliki Buku Izin Tinggal (BIT) mirip paspor dengan logo Al Zaytun. Sementara untuk pengunjung non anggota diwajibkan mengisi Lembar Izin Tinggal (LIT). Namun apakah ini merupakan paspor anggota NII KW 9, belum ada buktinya. "Kalau ada anggota yang ke luar dan masuk nanti diberikan stempel. Di situ tertera keluar dalam ranga apa, berapa lama dan ke mananya,” ungkap salah satu petugas jaga di Gate Ketibaan di Al Zaytun.
Panji Gumilang membantah ia merupakan pemimpin NII. Bagi Panji NII sudah habis setelah tewasnya Kartosuwiryo. Ia tidak habis pikir kenapa namanya selalu dikaitkan dengan Abu Toto yang disebut sebagai pemimpin NII KW 9. "Saya bukan Abu Toto, saya Panji Gumilang," kata Panji.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqqie menyarankan pemerintah membawa kasus NII KW 9 ini ke pengadilan karena telah meresahkan. Pengadilan lah nanti yang akan membuktikan kaitan Al Zaytun dengan NII KW 9.
"Kalau terbukti Al Zaytun bisa ditutup dan asetnya disita untuk negara. Bila tidak terbukti harus direhabilitasi," kata Jimly.
MUI sudah melapor ke Mabes Polri. Hanya saja belum ditindaklanjuti. Dalam penelitian itu MUI memang tidak menemukan adanya penerapan sistem pendidikan yang bermasalah. Yang diteliti terhadap Al Zaytun adalah soal pemahaman dan ditemukan adanya penyimpangan dari pemahaman Islam.
"Temuan MUI mengenai entitas NII memunculkan kegelisahan," kata Ketua MUI Amidhan.
Terlebih salah satu materi pelajarannya cenderung kepada radikalisme. Setiap orang yang bukan bagian NII digolongkan sebagai umat yang kafir dan maka dari itu harta benda mereka sah untuk dikumpulkan bagi kepentingan NII.
Mengenai dugaan keterkaitan Al Zaytun dan NII sempat terungkap dalam penangkapan 17 anggota NII di Bandung, Jawa Barat. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, dari berkas perkara tiga petinggi NII disebutkan telah mengambil infak dan sodakoh senilai Rp 6 juta per bulan dari anggotanya.
Infak dan sodakoh ini disetorkan secara berjenjang ke rekening BRI 0870.01.006.776.537 cabang Al Zaytun di Indramayu atas nama Mohammad Sobari alias Abu Patin selaku Gubernur NII wilayah Jawa Barat bagian selatan.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) M Amin Djamaluddin memiliki bukti berupa buku tentang setora iuran anggota NII, termasuk kwitansi tentang setoran emas seberat 1 gram per orang per anggota setiap tahun.
Amin yang pernah menulis buku 'Peyimpangan dan Kesesatan Ma’had Al Zaytun' itu menyatakan, ada kesesatan tauhid di Ponpes Al Zaytun. Di samping itu ada penyimpangan dalam praktek ibadah.
Kesesatan aqidah di Al Zaytun, menurut Amin, adalah menganggap Indonesia sama dengan Makkah sebelum Nabi Muhammad hijrah. Indonesia dianggap golongan jahiliyah yang diibaratkan sebagai tong sampah.
"Mereka menggangap Indonesia tong sampah yang isinya kotor. Jadi tidak usah salat. Karena kalau saat mencampurkan antara yang hak dan batil, maka tidak sah," jelas Amin yang pernah bergaul 30 tahun dengan sejumlah pentolan NII dari tahun 1970 itu.
Paham NII KW 9 ini bertentangan dengan hadis tentang keistimewaan Islam yang menjadi bumi ini sebagai tempat bersujud kepada Allah SWT. Berdasarkan hadist tersebut, Indonesia yang merupakan bagian di belahan dunia ini juga sah menjadi tempat bersujud atau sholat.
Di samping itu, NII termasuk Al Zaytun berpaham bahwa ibadah itu untuk melaksanakan hukum Islam di negara NII. Artinya Indonesia tidak memakai hukum Islam, sehingga warganya dianggap kafir, makanya semua amal ibadahnya seperti salat, puasa dan zakat amalannya terhapuskan. Lalu NII pun menukilkan sejumlah ayat Alquran dari sejumlah surat yang berisi tentang hijrah ke Madinah. Madinah yang mereka maksud adalah NII dengan kotanya Al Zaytun.
"Kita sebenarnya sudah melaporkan ini juga ke Kemenag dan Mabes Polri pada tahun 2006 lalu. Apalagi dalam ajaran mereka menghalalkan praktek pencarian dana melalui mencopet, merampok dan menodong," kata Amin yang pernah sama ikut mengaji dengan tokoh NII seperti Adah Jaelani, Aceng Karim dan M Hasan serta salah satu anaknya tokoh DI/TII Kartosuwiryo itu.
Amin sendiri bergabung dengan LPPI setelah menyatakan keluar dari pengajian tokoh NII itu pada tahun 1978.
Sejumlah korban NII KW 9 memberi kesaksian mereka diwajibkan berhijrah bila bergabung dengan gerakan yang identik cuci otak tersebut. Para korban menyatakan NII KW 9 memiliki struktur layaknya pemerintahan, memiliki pejabat dari tingkat lurah hingga presiden. Mereka juga memiliki aturannya sendiri termasuk memiliki KTP dan paspor yang berbeda dengan pemerintah RI.
Anggota Ponpes Al Zaytun memang memiliki Buku Izin Tinggal (BIT) mirip paspor dengan logo Al Zaytun. Sementara untuk pengunjung non anggota diwajibkan mengisi Lembar Izin Tinggal (LIT). Namun apakah ini merupakan paspor anggota NII KW 9, belum ada buktinya. "Kalau ada anggota yang ke luar dan masuk nanti diberikan stempel. Di situ tertera keluar dalam ranga apa, berapa lama dan ke mananya,” ungkap salah satu petugas jaga di Gate Ketibaan di Al Zaytun.
Panji Gumilang membantah ia merupakan pemimpin NII. Bagi Panji NII sudah habis setelah tewasnya Kartosuwiryo. Ia tidak habis pikir kenapa namanya selalu dikaitkan dengan Abu Toto yang disebut sebagai pemimpin NII KW 9. "Saya bukan Abu Toto, saya Panji Gumilang," kata Panji.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqqie menyarankan pemerintah membawa kasus NII KW 9 ini ke pengadilan karena telah meresahkan. Pengadilan lah nanti yang akan membuktikan kaitan Al Zaytun dengan NII KW 9.
"Kalau terbukti Al Zaytun bisa ditutup dan asetnya disita untuk negara. Bila tidak terbukti harus direhabilitasi," kata Jimly.
SUMBER : http://gerakanantinii.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar